PEREKONOMIAN
INDONESIA
NAMA : RESTI JENITA
KELAS : 1EB21
NPM : 26212147
TULISAN : Ke-4
JUDUL : Periodesasi Sastra Indonesia
Periodesasi
Sastra Indonesia
Karya
Resti Jenita
Perkembangan Sastra di Indonesia
Ketika kita membahas masalah perkembangan
sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan
sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai
Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945
yang disebut angkatan Pendobrak, dan angkatan 1966 atau disebut juga angkatan
Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah
Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya
Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi).
Angkatan 1945 dengan tokoh centralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang
sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya
Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan
oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering
disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju
dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi
sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah
bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa
perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal,
dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi
poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan
formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga
bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis
perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam
pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama
dalam lingkup sastra Indonesia.
Perkembangan Puisi
Dilihat dari segi kewaktuan, puisi
Indonesia dibedakan menjadi puisi lama dan puisi modern. Puisi lama Indonesia
umumnya berbentuk pantun atau syair. Dan bersifat anonim karena tidak
disebutkan siapa pengarangnya. Puisi lama menjadi milik masyarakat.
Puisi modern, atau puisi baru, berkembang
sejak bangsa Indonesia mengenal pendidikan formal. Maka puisi modern Indonesia
mulai muncul tahun 1920-an karena pada tahun itulah bangsa terdidik Indonesia
mulai muncul. Sejak itu puisi baru Indonesia terus berkembang. Sejarah
perpuisian Indonesia mencatat beberapa penyair berikut :
I. Angkatan Balai Pustaka-Angkatan ‘66
Angkatan
|
|||
Balai
Pustaka
|
Pujangga Baru
|
‘45
|
‘66
|
1.
Muhammad Yamin
2.
Roestam Effendi
3.
Sanusi Pane
|
1.
Amir Hamzah
2.
J.E. Tatengke
3.
Sutan Takdir Alisjahbaa
|
1.
Chairil Anwar
2.
Sitor Situmorag
3.
Asrul Sani
4.
Harijadi S. Hartowarijo
|
1.
Rendra
2.
Ramadhan K.H.
3.
Toto Sudarto bachtiar
4.
Sapardi Djoko Damono
5.
Subagio Sastrowardojo
6.
Ajip Rosidi
7.
Kirdjomulyo
8.
Taufik Ismail
9.
Goenawan Mohamad
10. Masur
Samin
11. Hartijo
Andangdjaja
12. Piek
Ardijanto Suprijadi
13. Slamet
Sukirnanto
14. Toeti
Heraty
15. Abdul
Hadi W.M.
16. Darmanto
Jatman
|
II.
Angkatan
’70-an sampai sekarang
Angkatan
|
||
’70-an
|
’90-an
|
‘2000-an
|
1.
Sutardji Calzoum Bachri
2.
Yudhistira Ardinugraha
3.
Linus Suryadi A.G.
4.
Leon Agusta
5.
Hamid Jabar
6.
Eka Budijanta
7.
F. Rahardi
8.
Emha Ainun Nadjib
9.
Djawawi Imron
|
1.
Sides Sudyarto D.S.
2.
Rahim Qahhar
3.
Arwan Tuti Arta
4.
Gunoto saparie
5.
Rusli Marzuki Saria
6.
Husni Jamaluddin
7.
Ibrahim Sattah
8.
Agus Sarjono
9.
Cecep Syamsul Hari
10. Soni
Farid Maulana
11. Acep
Zam-zam Nur
12. Joko Pinurbo
13. dll
|
1. Nenden
Lilis Aisyah
2. Mohamad
Wan Anwar
3. Jamal
D. Rahman
4. dll.
|
Karya-karyanya
:
- Muhammad Yamin
Lahir di Sawah Lunto 23 Agustus 1903
Bahasa,
Bangsa
Selagi kecil
berusia muda,
Tidur si
anak di pangkuan bunda,
Ibu
bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si
anak banyaknya sedang;
Buai sayang
malam dan siang,
Buian
tergantung di tanah moyang.
Terlahir
bangsa berbahasa sendiri
Diapit
keluarga kanan dan kiri
Besar
budiman di tanah melayu
Perasaan
serikat menjadi padu
Dalam
bahasanya permai merdu
Meratap
menangis bersuka raya
Dalam
bahagia bala dan baya
Bernafas
kita pemanjangklan nyawa
Dalam bahasa
sambungan jiwa
Di mana
Sumatra, di situ bangsa
Di mana Perca
di sana bahasa
Andalasku
sayang, jana bejana
Sejakkan
kecil muda teruma
Sampai mati
berkalang tanag
Lupa ke
bahasa tiadakan pernah
Ingat
pemuda, Sumatra hilang
Tiada
bahasa, bangsa pun hilang
- Amir Hamzah
Disebut-sebut sebagai Raja Penyair Pujangga
Baru,
Padamu
Jua
Habis kikis
Segala
cintaku hilang terbang
Pulang
kemvbali aku padaMu
Seperti
dahulu
Engkaulah
kandil kemerlap
Pelita
jendela di malam gelap
Melambai
pulang perlahan
Sabar, setia
selalu
Satu
kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana
engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
merangkai hati
Engkau
cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku
dalam cakarmu
Bertukar
tangkap dengan lepas
Nanar aku,
gila saar
Sayang
berulang padamu jua
Engkau pelik
menarik ingin
Serupa dara
di balik tirai
Kasihku
sunyi
Menunggu
seorang diri
Lalu
waktu-bukan diliranku
Mati hari
bukan kawanku
- Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai
waktuku
Kumau tak
seorang kan merayu
Tidak juga
kau
Tak perlu
sedu sedan itu
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
Luka dan
bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan aku akan
lebih tidak peduli
Aku mau
hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
- Willibrordus Surendra (W.S. Rendra)
Episode
Kami duduk
berdua
Di bangku
halaman rumahnya.
Pohon jambu
di halaman iti
Berbuah
dengan lebatnya
Dan kami
senang memandangnya.
Angin yang
lewat
Memainkan
daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia
berkata:
“Mengapa
kancingbajumu lepas terbuka?”
Aku hanya
tertawa.
Lalu ia
sematkan dengan mesra
Sebuah
peniti menutup bajuku.
Sementara
itu
Aku
bersihkan guguran bunga jambu
Yang
mengotori rambutnya
- Taufiq Ismail
Dengan
Puisi, Aku
Dengan puisi
aku bernyanyi
Sampai senja
umurku nanti
Dengan puisi
aku bercinta
Berbatas
cakrawala
Dengan puisi
aku mengenang
Keabadian
Yang Akan Datang
Dengan puisi
aku menangis
Jarum waktu
bila kejam mengiris
Dengan puisi
aku mengutuk
Nafas zaman
yang busuk
Dengan puisi
aku berdoa, Perkenankanlah kiranya.
- Sutardji Calzoum Bachri
Tapi
Aku bawakan
bunga padamu
tapi kau
bilang masih
Aku bawakan
resahku padamu
tapi kau
bilang hanya
Aku bawakan
darahku padamu
tapi kau
bilang Cuma
Aku bawakan
mimpiku padamu
tapi kau
bilang meski
Aku bawakan
dukaku padamu
tapi kau
bilang tapi
Aku bawakan
mayatku padamu
tapi kau
bilang hampir
Aku bawakan
arwahku padamu
tapi kau
bilang kalau
Tanpa apa
aku datang padamu
wah!
- Acep Zamzam Noor
Cipasung
Di lengkung
alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti
rambutku padi-padi semankin merundukkan diri
Dengan ketam
kupanen terus kesabaran hatimu
Canghkulku
iman dan sajadahku lupur yang kental
Langit yang
menguji ibadahku meteskan cahaya redup
Dan surauku
terbakar kesunyian yang menyalakan rindu
Aku semakin
mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada
lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Bagi
pagar-pagar bamboo yang dibangun keimananku
Mendekatlah
padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku
kolam yang menyimpan kemurnianmu
Hari esok
adalah perjalananku sebagai petani
Membuka
ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah
jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah
lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam
masih ingin kupanen kesabaanmu yang lain
Atas sajadah
Lumpur aku terseungkur dan berkubur
- Nenden Lilis Aisyah
Negeri
Sihir
Angin surut
dan cahaya beringsut
Waktu seakan
turun menemui kegaiban
Kerisik
senyap, segala sunyi
Bertabuh di
kegelapan
Negeri
tempatku hidup telah jadi mimpi
Alangkah
jauh, bagai bayang-bayang
Aku entah
berjejak di mana
Tak juga
pergi bersama suara-suara
Inilah
ketiadaan, ruang kekal kekosongan
Tempat
segalanya menghilang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar