PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA :
RESTI JENITA
KELAS :
1EB21
NPM :
26212147
TULISAN :
Ke-8
DIBALIK CERITA NOVEL
“Asyik..
Akhirnya novel Agnes Jessica rilis.” Kataku saat melihat infonya di situs mbah
google.
“Seminggu lagi novelnya bakalan dijual di toko buku dan gue bakalan jadi pembeli pertama. Haha.. “
Namaku Yuri. Aku penggemar novel-novel karya Agnes Jessica. Kini aku kuliah di jurusan Kimia di Universitas Negeri di Jambi.
“Seminggu lagi novelnya bakalan dijual di toko buku dan gue bakalan jadi pembeli pertama. Haha.. “
Namaku Yuri. Aku penggemar novel-novel karya Agnes Jessica. Kini aku kuliah di jurusan Kimia di Universitas Negeri di Jambi.
Seminggu kemudian aku bergegas ke Gramedia untuk membeli novel tsb. Saat aku tiba di Gramed, ternyata tokonya belum buka. Akupun menunggu di salah satu tempat makan yang jaraknya tak jauh dari gramed. Tak jauh dari tempatku duduk, kulihat seorang cowok dan cewek yang sedang suap-suapan makanan seperti anak kecil yang baru belajar makan. Huh..apaan itu? Ucapku dalam hati. Akupun menghindari pandanganku dari mereka dan mulai melanjutkan sarapanku.
Setelah jam
menunjukkan pukul 10 pagi, akupun menuju gramed. Sepertinya aku bukan
pengunjung pertama yang masuk kesini. Aku langsung menuju ke lantai atas untuk
menemukan novel incaranku. Tak salah lagi, dikerumunan orang itu pasti terdapat
novelnya. Akh. Sial ! mereka sudah banyak yang membeli. Karena takut gak
kebagian, dengan langkah setengah berlari aku masuk ke dalam kerumunan orang
itu. Segera tanganku meraih novel yang tinggal 2 buah itu. Happ , aku dapat.
Tetapi ketika tanganku menariknya, ada tangan lain yang menarik novel itu.
“Maaf, ini punya saya.” Ucapku pada seseorang tsb.
“Maaf, ini punya saya.” Ucapku pada seseorang tsb.
“Maaf mbak, saya
sudah menunggu novel ini dari awal.” Kata cowok itu dengan tangan masih
memegang novel.
Akupun memerhatikan wajah cowok itu. Benar, dia cowok yang tadi kulihat di tempat makan. Akupun bertanya-tanya, masa sih ada cowok yang suka baca novelnya Agnes? Padahalkan ceritanya dari sudut pandang cewek. Apa gak ada bacaan lain selain novel apa.
“Mbak!”
“Oh ,ya kenapa?” kataku kaget.
“Novelnya untuk
saya saja ya mbak?”
“Kan saya dulu yang ambil mas, tuh masih ada novelnya satu.” Kataku sambil menunjuk ketempat novel tadi berada, tetapi novelnya sudah lenyap diambil orang.
“Kan saya dulu yang ambil mas, tuh masih ada novelnya satu.” Kataku sambil menunjuk ketempat novel tadi berada, tetapi novelnya sudah lenyap diambil orang.
“Lho..kok gak
ada yah. Hehe..”
“Mohon ya mbak,
untuk saya saja.” Pintanya lagi dan sekali ini dengan memegang tanganku.
“Apaan sih mas,
pokoknya saya gak mau.”
Akupun langsung mengambil novel itu dan meninggalkan si cowok gak jelas menuju kasir.
Ketika akan
keluar dari gramed, seseorang menabrakku dengan keras.
“Aww.!” Akupun
terjatuh dan barang-barang bawaanku dan cewek itu jatuh berantakan.
“Hati-hati dong
mbak, gimana sih!” cewek itu mengomeliku dan mengambil barang-barangnya kemudian
pergi meninggalkanku yang masih terduduk karna kaget dengan perlawanan cewek
tadi.
“Apa-apaan sih tuh cewek ! Dia yang nabrak malah dia yang ngomelin gue. Gak etis banget !” omelku sambil mengambil barang belanjaanku yang terjatuh.
“Apa-apaan sih tuh cewek ! Dia yang nabrak malah dia yang ngomelin gue. Gak etis banget !” omelku sambil mengambil barang belanjaanku yang terjatuh.
Sepanjang
perjalanan kerumah, aku masih memikirkan kejadian di gramed tadi. Kesal
bercampur aduk karna perlakuan cowok dan cewek aneh tadi.
“Oh ya, kalau
diingat-ingat cewek yang tadi menabrakku kalo gak salah... cewek yang bersama
cowok tadi. Ya benar. Kok bisa kebetulan gitu yah? Ada-ada saja.” Ucapku
menggeleng kepala karna tak menduga bakalan seperti ini.
Sesampainya di
rumah, aku tak menyangka saat membuka plastik kresek putih itu yang ada malah
komik jepang. Aku berfikir apakah aku salah membeli atau malah ini bukan
kepunyaanku.
Aku menggaruk
kepalaku yang tidak gatal.
“Jangan-jangan
keambil sama cewek tadi? Ya ampun, kenapa jadi begini sih. Sial bener gue hari
ini.”
Akupun
menghempaskan tubuhku di atas kasurku dan berlalu tidur.
Satu bulan berlalu semenjak kejadian di gramed. Aku masih belum menemukan novelku. Dan aku hanya membaca ringkasannya melalui situs internet, karna novel AJ sudah habis kejual. Saat aku hendak ke gramed , aku mendapat SMS dari teman kampusku yang mengabarkan salah satu teman dekat ku masuk RS karna diare. Akupun melajukan mioku ke RS untuk menjenguk temanku. Kulihat Reni yang mengabarkanku sudah berada disitu bersama teman-temanku lainnya. Keadaan Sila sepertinya sudah agak membaik karna sudah diberi obat oleh dokter. Ketika aku berada di parkiran RS saat akan pulang, aku melihat cowok putih bertubuh jangkung yang kutemui di gramed. Dia berlari seakan mengejar sesuatu. Akupun mengikutinya dari belakang. Ternyata dia memasuki salah satu kamar VIP di RS itu.
Satu bulan berlalu semenjak kejadian di gramed. Aku masih belum menemukan novelku. Dan aku hanya membaca ringkasannya melalui situs internet, karna novel AJ sudah habis kejual. Saat aku hendak ke gramed , aku mendapat SMS dari teman kampusku yang mengabarkan salah satu teman dekat ku masuk RS karna diare. Akupun melajukan mioku ke RS untuk menjenguk temanku. Kulihat Reni yang mengabarkanku sudah berada disitu bersama teman-temanku lainnya. Keadaan Sila sepertinya sudah agak membaik karna sudah diberi obat oleh dokter. Ketika aku berada di parkiran RS saat akan pulang, aku melihat cowok putih bertubuh jangkung yang kutemui di gramed. Dia berlari seakan mengejar sesuatu. Akupun mengikutinya dari belakang. Ternyata dia memasuki salah satu kamar VIP di RS itu.
Aku mengintip
dari balik pintu. Kulihat seorang ibu menangis dan dibujuk oleh seorang bapak
yang menurutku suaminya. Ada juga dokter yang memeriksa keadaan seorang pasien
cewek. Begitu terkejutnya aku melihat pasien itu adalah cewek waktu itu.
Wajahnya pucat dan tubuhnya kurus. Sepertinya dia mengidap penyakit yang parah.
Saat aku melihat cewek itu, si cowok menoleh kearahku. Uppss..aku ketahuan. Aku
segera menjauh dari tempat itu.
“Mbak.” Suara itu memanggilku.
“Mbak.” Suara itu memanggilku.
Aku berbalik dan melihat cowok itu berjalan kearahku.
“Saya?” kataku
bingung.
“Iya, mbak. Mbak
temannya Mini?”tanyanya padaku meyakinkan.
Kulihat cowok itu begitu tampan, matanya tajam seperti elang tetapi kelihatan sembab karna mungkin habis menangis. Tubuhnya berisi dan tinggi. Kalau dilihat-lihat dia mirip Lee Min Ho aktor korea idolaku. Apalagi potongan rambutnya seperti di City Hunter. Kok ada yah di Indonesia cowok seperti ini.
“Oh, bukan mas.
Saya yang waktu itu di gramed berebutan novel sama mas.” Kataku sambil menunjuk
kearahku sendiri.
“Iya. Mbak yang
waktu itu. Sepertinya penggemar novel Agnes Jessica juga.”
“Iya, saya suka
banget novelnya. Berarti mas juga suka ya, jarang-jarang lho ada cowok yang
suka novel gituan.”
“Panggil saya
Divo” ucapnya dan menyodorkan tangannya padaku.
“Yuri “balasku dengan senyum.
“Yuri “balasku dengan senyum.
“Mbak, bisa kita
duduk dulu disana .“Divo menunjuk kursi yang letaknya tak jauh dari tempat kami
berdiri.
“Oh, ya boleh.”
Kami pun duduk di kursi panjang itu.
“Oh ya Vo,
sebelumnya gue mau minta maaf soal kejadian waktu itu.”
“Malahan gue yang mau minta maaf karna mau merebut novel yang udah lo ambil duluan.”
“Iya sih, tapi akhirnya gue juga gak dapat tuh novel.” Ucapku kecewa.
“Malahan gue yang mau minta maaf karna mau merebut novel yang udah lo ambil duluan.”
“Iya sih, tapi akhirnya gue juga gak dapat tuh novel.” Ucapku kecewa.
“Oh ya, gue
belum kasih tau lo tentang novel itu.” Divo menarik nafas sejenak. “Novel lo
ada di Mini, soalnya dia kebawa waktu tabrakan sama lo di Gramed. Itu benaran
lo kan?”
“Hah? serius lo?
Iya itu novel gue. Waktu itu cewek lo nabrak gue. Gue ampe pusing mikirannya.
Soalnya gak ada lagi jualnya. Udah habis semua.”
“Mini itu adik
gue lagi. Gue juga mau minta maaf atas nama dia, soalnya dia gak sengaja
keambil novel lo.”
“Oh, jadi Mini
itu adik lo? Sorry-sorry.”
“Iya, dia adik
gue. Dia juga suka novelnya AJ. Sama seperti lo. Makanya waktu itu gue
berebutan ama lo untuk beli novel itu buat adik gue. Entah mungkin nasibnya
lagi beruntung, dia bisa kebawa novel lo dan bisa baca novel itu.”
“Hehe.. dia
emang beruntung banget. Emang adik lo sakit apaan?” tanyaku penasaran.
“Dia sakit..”
Divo diam sejenak dan wajahnya berubah sedih.”Leukimia.”
“Astaghfirullah.
Maaf, gue ikut prihatin dengan kondisi adik lo.”
“Iya terima
kasih.” Tiba-tiba Divo meneteskan air mata. Akupun ikut sedih melihatnya.
“Maaf.” Katanya
dan menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Gak apa-apa
kok. Wajar lagi lo nangis.”
“Gue juga mau
ngucapin terima kasih ama lo karna lo, dia bisa baca novel itu. Dia sudah lama
nunggu novel AJ, sampai-sampai dia bilang apakah dia bakalan sempat baca
sebelum dia pergi.”
“Gue ikhlas kok,
novel itu buat adik lo aja.” Kataku dengan tersenyum.
Divopun memegang
tanganku. Aku terkejut dengan perlakuannya.
“Terima kasih
Yuri. Gue janji kalo gue dapat lagi novel itu, gue bakalan gantiin punya lo.”
“Gak perlu kok
vo, gue ikhlas ngasih novel itu buat adik lo. Karna cuma itu yang bisa gue berikan
buat adik lo agar dia senang.”
“Sekali lagi gue
banyak terima kasih ama lo.”
“Sama-sama.” Aku
tersenyum kepada Divo dan diapun balas tersenyum.
“Oh ya, kalo boleh tau nomor HP lo berapa? Kalo lo butuh bantuan gue, lo bisa hubungin gue.”
“Oh ya, kalo boleh tau nomor HP lo berapa? Kalo lo butuh bantuan gue, lo bisa hubungin gue.”
Kami pun
bertukaran nomor HP.
Sebelum pulang
dari RS, aku menyempatkan diri menjenguk Mini. Mini tampak kurus dan pucat.
Awalnya dia agak jutek denganku, tetapi saat aku cerita tentang novel-novelnya
AJ, dia mulai tersenyum denganku. Ternyata dia menyenangkan diajak mengobrol.
Kamipun sudah saling akrab.
Keesokan harinya, seusai menjenguk Sila, akupun menjenguk Mini. Ternyata Mini lebih muda 3 tahun dariku yaitu 16 tahun sedangkan Divo 20 tahun. Kami bertiga juga mempunyai hobi yang sama bermain basket. Dan kami berjanji jika Mini sembuh, kami akan latihan bersama. Hari ini Mini tampak begitu senang. Akupun ikut senang melihatnya. Sebelum aku hendak pulang, dia berpesan kepadaku.
Keesokan harinya, seusai menjenguk Sila, akupun menjenguk Mini. Ternyata Mini lebih muda 3 tahun dariku yaitu 16 tahun sedangkan Divo 20 tahun. Kami bertiga juga mempunyai hobi yang sama bermain basket. Dan kami berjanji jika Mini sembuh, kami akan latihan bersama. Hari ini Mini tampak begitu senang. Akupun ikut senang melihatnya. Sebelum aku hendak pulang, dia berpesan kepadaku.
“Kak, besok
jenguk Mini lagi yah? Mini ada kejutan buat kakak.” Kata Mini dengan suaranya
yang pelan dan masih terbaring di tempat tidur.
“Iya, besok
kakak bakalan kesini lagi. Emang ada kejutan apa sih? Padahal kakak belum ulang
tahun lho..”
“Ada deh,
pokoknya rahasia. Hehe..”
“Iya deh. Gak
sabar nih rasanya nungguin besok. Ya udah deh, kakak pulang dulu yah..”
“Jangan lupa ya kak.” Kali ini Mini tersenyum lagi kepadaku. Dia terlihat cantik, meskipun lagi sakit. Semangatnya untuk sembuh juga begitu membuat orang-orang terkesan.
“Jangan lupa ya kak.” Kali ini Mini tersenyum lagi kepadaku. Dia terlihat cantik, meskipun lagi sakit. Semangatnya untuk sembuh juga begitu membuat orang-orang terkesan.
Atas perintah Mini, Divo mengantarku pulang. Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba Divo memelukku.
“Yuri, beribu-ribu kali gue ucapin terima kasih banget sama lo karna udah bikin Mini ceria dan tertawa lagi. Gue gak tau harus ngebalas kebaikan lo dengan apa.” Ucap Divo masih dengan memelukku. Akupun kaget dan tak bisa berbuat apa-apa. Jantungku berdetak begitu cepat dan aliran darahku serasa mengalir deras. Aku bingung dengan perasaanku ini. Apakah aku mulai menyukai Divo? Tapi aku belum yakin dengan perasaan ini. Divopun melepaskan pelukannya dariku.
“Yuri.”
“Apa?” aku yang dari tadi berdiri kaku mulai menyadari Divo memanggilku.
“Lo kenapa?”
“Nggak kok, cuma
kaget aja.”
“Ya udah kalo
gitu gue balik ke RS dulu.”
“Iya,
hati-hati.”
Divopun melaju
dengan Tiger merahnya. Baju kaosnya bergoyang-goyang tertiup angin. Tak lama
kemudian dia lenyap dari pandanganku. Malam ini aku begitu lelah dan tertidur
dengan pulasnya. Keesokan harinya aku bersiap-siap menuju RS. Karna HP ku mati,
aku pun men-charge-nya terlebih dahulu. Ketika HP ku menyala, ternyata ada
banyak panggilan tak terjawab dan pesan dan itu sekitar jam 4 subuh. Ternyata
itu semua dari Divo. Akupun membuka satu persatu pesan darinya. Aku pun
terkulai lemas dan terduduk di tempat tidurku. Rasanya kakiku sudah tak sanggup
lagi untuk bergerak. Mini meninggal dunia.
Di pemakaman ini terasa begitu sejuk. Orang tua Divo telah pulang dari pemakaman, begitu juga pelayat lainnya. Kini tinggal aku dan Divo yang berada di samping pemakaman yang penuh dengan bunga itu. Divo tampak sudah mengikhlaskan kepergian Mini. Meskipun aku tau isi hatinya sangat bersedih kehilangan Mini.
“Yuri, lo tau
nggak apa kejutan yang disiapin Mini untuk lo sebelum dia pergi.” Kata Divo
masih dengan tatapan kosong kearah nisan Mini.
“Gue gak tau vo,
tapi yang pasti kejutan dari Mini bakalan buat gue suka banget.”
“Dia mau memberi lo semua koleksi novel AJ yang dia punya. Termasuk novel yang lo berikan ke dia.”
“Dia mau memberi lo semua koleksi novel AJ yang dia punya. Termasuk novel yang lo berikan ke dia.”
Mendengar hal
itu, aku jadi terharu. Mini yang baru kukenal , sudah ingin memberikan barang
kesukaannya kepadaku. Padahal aku bukanlah satu-satunya orang yang dia kenal.
Ada banyak teman yang menyayanginya. Dan juga aku merasa belum begitu banyak
membuatnya bahagia karna kehadiranku. Kini aku sadar bahwa kedekatan seseorang
bukanlah berdasarkan berapa lama waktu yang mereka lalui bersama. Melainkan
seberapa berartinya orang itu dalam setiap jam, menit, bahkan setiap detik
bersamanya. Mini telah berusaha sekuat tenaganya melawan rasa sakit itu. Dia
orang yang kuat dan pantang menyerah. Dan usahanya itu pasti akan dicatat
sebagai amalan baiknya.
Empat puluh hari
setelah kepergian Mini, aku dan Divo pergi ke Gramed. Aku mencari novel
incaranku, dan saat aku mengambil novel itu, ada tangan yang menariknya dari
tanganku.
“Maaf mbak,
novel ini untuk saya saja yah?” ucap Divo tersenyum.
“Ya sudah deh,
ambil untuk mas saja.” Kataku membalas senyumannya.
“Lho, kok gak
marah rii?”
“Iya sih,
soalnya mana tau lo ada perlu dengan novel itu.”
“Kalo gue mau
ambil hati lo juga gimana? Boleh juga gak?”
“Apa?” mendengar
kata-kata Divo itu, jantungku kembali berdetak cepat.
Mungkin dia
mengetahui apa yang aku rasakan padanya saat ini. Dia pun menarik tanganku dan
menggenggamnya lembut. Kami saling tersenyum satu sama lain. Entah apa yang
akan terjadi pada kami selanjutnya. Tetapi aku yakin aku akan bahagia
bersamanya sebahagia aku melaluinya bersama Mini.